Diseberang komplek rumah kami ada sederet flat, 5 flat di lantai 1 dan 5 flat di lantai 2. Flat paling pojok kanan di lantai 1 adalah flat milik Madge, sahabat lanjut usia sekaligus tetanggaku. Perkenalan pertama kami menurutku berlangsung sangat unik, lucu dan penuh kenekatan. Sebelumnya aku cuma tahu dari suamiku bahwa di flat pojok kanan itu katanya tinggal teman gereja kami, sekaligus teman kakek dan neneknya dulu sebelum akhirnya pindah ke daerah sini. Wanita itu hidup seorang diri setelah suaminya meninggal dunia, kemudian disusul anak lelakinya juga meninggal dunia; sedangkan anak perempuannya sudah meninggal dunia lama waktu masih kecil. Dan suamiku hanya tahu nama keluarga wanita itu, tapi nama depannya siapa, suamiku tidak tahu jelasnya.
Berawal dari 2 minggu setelah aku keguguran di kehamilan pertamaku tepatnya awal Nopember 2008, aku ingin keluar rumah sekedar untuk mencari suasana baru sembari melupakan kesedihanku. Walaupun malas dan enggan dengan hawa beku musim dingin waktu itu yang selalu berkisar di bawah 15 derajat celcius naik turunnya (syukur-syukur kalau pas tidak minus malahan!), tapi aku tetap memutuskan keluar untuk jalan-jalan seorang diri seputar komplek rumah kami.
Setelah hampir sampai di rumah kembali, tepatnya di ujung komplek rumah dan di depan komplek flat itu masih, langkahku terhenti dan memandangi flat pojok kanan itu. Dan entah kekuatan apa yang mendorongku nekat melangkahkan kakiku menuju ke flat itu. Dengan bermodal info terbatas dari suamiku aku menuju flat pojok kanan di lantai 1 itu, tanpa tahu apa yang akan kulakukan, apa yang akan kukatakan dan bagaimana serta siapa nama depan orangnya!
Kulihat dari balik pintu kaca, seorang wanita usia lanjut agak gemuk dan rambut ikal pendek, sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menunduk karena sibuk merenda! Kuketuk pintu kacanya beberapa kali dengan sopan, dia tidak bergeming. Kuketuk lagi beberapa kali agak keras, dia tetap sibuk dengan rendaannya. Sekali lagi kugedor pintu kacanya dengan tidak sopan, sampai ruas-ruas jari tangan kananku sakit tapi wanita itu tetap sibuk merenda! Aneh?!
Daripada aku dikira orang jahat atau tidak sopan karena sudah mengetuk pintu rumah orang dengan tidak sopan, maka sekali lagi aku nekat memutuskan untuk mencoba menggerakkan gerendel pintunya, siapa tahu tidak terkunci. Dan benar juga, pintu kacanya tidak terkunci dan suara gerendel pintu yang terbuka mendadak sontak mengagetkan wanita itu.
Dia langsung memandangiku, dan akupun langsung sedikit membungkuk sambil mulutku nekat memberondong dengan perkataan maafku sekaligus penjelasan siapa aku sebenarnya. Waktu itu dia hanya memandangiku saja dari bawah sampai ke atas sambil tersenyum, kemudian mempersilakanku untuk duduk dan sebelumnya meminta tolong juga untuk membantunya memasang alat bantu dengar di telinga kirinya!!!! Oh my goodness...ternyata pendengarnya terganggu...pantas saja tidak mendengar ketukan dan gedoran pintu tadi!
Dari situ kami jadi saling tahu dan kenal lebih lagi, dan aku jadi tahu juga bahwa nama depannya adalah MADGE! Dia berusia 91 tahun, hidup sebatangkara dan tergantung dari uang pensiunnya sebagai petani dulu, serta subsidi dari The City Council bagi orang lanjut usia tentunya. Katanya, sehari-hari dia hanya menyibukkan diri dengan merenda topi-topi dan baju hangat bayi yang akan diberikannya pada gereja kami untuk dikirim bagi anak-anak Afrika yang membutuhkan...
Setelah itu Madge memintaku untuk sering-sering berkunjung ke rumahnya, kecuali hari Rabu dan Jumat; karena pada hari itu jadwal terapi bagi orang-orang lanjut usia di daerah Preston katanya. Jadi kulihat dari depan rumahku setiap hari Rabu dan Jumat pagi jam 8 ada Bus The Council City datang menjemputnya ke Rumah Terapi Kota, kemudian sekitar jam 3 sore baru diantar pulang kembali. Biasanya aku berkunjung sekitar sore hari jam 4, karena sekitar jam 5 aku harus bersiap memasak untuk makan malam kami di rumah.
Kunjungan dan percakapan kami hampir selalu sama topiknya, bahkan kadang-kadang hanya diulang-ulang saja. Kalau aku datang, seperti biasa kalau pas dia tidak sedang melihatku maka aku akan langsung membuka pintu kacanya. Kemudian dia akan menyerahkan alat bantu dengarnya untuk kupakaikan di telinga kirinya, dan pasti akan dimulai dengan sapaannya yang SELALU sama, "Hello Love, are you alright?!"... Is Mark alright?!...Are you cold?!... Baru kemudian berlanjut dengan percakapan seputar topik yang monoton seputar, suami dan kakek-neneknya Mark, makanan favorit, masakan Indonesia, warna kesukaan, Toko fish & chips terenak di Preston, hobi, apa yang akan kumasak untuk makan malam... Kadang-kadang kami bisa tertawa bersama juga, cekikikan, atau saling terharu kalau pas bagian cerita yang sedih seperti perasaan sedihnya seorang diri dan juga tentang keguguranku.
Di sela-sela obrolan kami pasti dia juga akan menawarkan teh hangat atau permen atau biskuit. Tapi sejujurnya kadang-kadang aku frustasi dan geli juga dalam percakapan kami, bagaimana tidak karena kadang-kadang seperti "orang buta menuntun orang buta" saja, apa yang dia jawab atau katakan tidak seperti pertanyaan atau obrolan sebelumnya. Aku tidak tahu apakah karena dia tidak jelas bahasaku atau karena kurang jelas mendengar! Tapi sejauh itu kami menikmati persahabatan baru kami dan aku mengerti, bahwa untuk orang seusia Madge dengan keadaannya, dia butuh sekali diperhatikan dan sekedar didengarkan.
Tetangga kami bahkan sudah terbiasa kalau melihat di sore hari aku menyeberang jalan sambil membawa mangkok kecil, atau kotak makan berisi sesuatu hasil masakanku. Karena kemudian aku jadi punya tester lain untuk ikut mencicipi hasil belajar memasakku, selain Mark! Hal ini membuatku semakin rajin mencoba belajar memasak. Kadang aku membuat kolak pisang dan ubi jalar (sweet potato), atau pisang plenet kutaburi parutan keju, atau lain kali aku memasak mie goreng kuberi irisan sosis, atau sekedar pisang goreng, atau ubi goreng, atau bakwan jagung, atau rolade bayam... Biasanya setelah selesai membuatnya dan masih panas aku antar ke tempat Madge dan selalu bilang padanya bahwa kalau masakan itu tidak enak dan dia tidak suka kuminta untuk dibuang saja, dan seringnya dia langsung memakannya di depanku sambil kemudian berbincang-bincang seputar makanan yang kubawa itu, bagaimana membuatnya, apakah Mark suka, dll.
Tapi kunjungan-kunjungan itu hanya sampai sekitar bulan Januari saja, karena mulai bulan Februari tentu saja setelah memasuki musim semi dan keadaan mulai lebih hangat, aku mulai bekerja paruh waktu. Jadi kemudian lama aku tidak sempat berkunjung. Dan tahu-tahu kami mendengar di gereja ketika Pendeta berdoa untuk orang-orang yang sakit, ada nama Madge disebut sedang sakit dan dirawat di Royal Preston Hospital karena mengidap stroke dan winter virus!
Parahnya lagi untuk winter virus, kami dilarang menengok, kecuali sampai sembuh benar! Dan sebulan setelah itu, kami mendengar bahwa Madge sudah sembuh tapi harus dirawat di Meadow Ville (sejenis Home Carer milik rumah sakit bagi orang-orang jompo yang lemah), karena sambil melatih Madge apakah masih mampu tinggal di rumah seorang diri atau tidak.
Kami hanya mengirim kartu semoga lekas sembuh dan baru sempat menengoknya waktu di Meadow Ville. Tapi bulan kemarin kami mendengar lagi bahwa setelah beberapa kali dicoba di pulangkan kembali di flatnya selama beberapa jam dalam sehari (tentu saja masih mendapat pendampingan), ternyata Madge dinyatakan tidak mampu lagi secara fisik, artinya dia harus tinggal di House Carer milik The City Council di lain daerah(atau Panti Jompo) dan selanjutnya dipelihara oleh negara sampai akhir hayatnya...
Setiap kali aku melihat pintu bekas flatnya dari halaman rumah kami, aku hanya dapat mengenangnya dan mengucapkan doa pendek untuknya..."Terima kasih Madge, engkau bagaikan seorang malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantuku untuk bangkit dan melupakan kesedihan karena keguguranku...". Kalau aku renungkan, waktu pertemuan dan persahabatan kami seolah-olah sudah diatur oleh Tuhan, sebelum akhirnya aku bekerja dan bangkit dari kesedihanku...
"Goodbye my old friend, goodbye my lovely neighbour... 'til we meet again Madge!
I will be missing our times together! Wherever you are, God always be with you and bless you..."
Berawal dari 2 minggu setelah aku keguguran di kehamilan pertamaku tepatnya awal Nopember 2008, aku ingin keluar rumah sekedar untuk mencari suasana baru sembari melupakan kesedihanku. Walaupun malas dan enggan dengan hawa beku musim dingin waktu itu yang selalu berkisar di bawah 15 derajat celcius naik turunnya (syukur-syukur kalau pas tidak minus malahan!), tapi aku tetap memutuskan keluar untuk jalan-jalan seorang diri seputar komplek rumah kami.
Setelah hampir sampai di rumah kembali, tepatnya di ujung komplek rumah dan di depan komplek flat itu masih, langkahku terhenti dan memandangi flat pojok kanan itu. Dan entah kekuatan apa yang mendorongku nekat melangkahkan kakiku menuju ke flat itu. Dengan bermodal info terbatas dari suamiku aku menuju flat pojok kanan di lantai 1 itu, tanpa tahu apa yang akan kulakukan, apa yang akan kukatakan dan bagaimana serta siapa nama depan orangnya!
Kulihat dari balik pintu kaca, seorang wanita usia lanjut agak gemuk dan rambut ikal pendek, sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menunduk karena sibuk merenda! Kuketuk pintu kacanya beberapa kali dengan sopan, dia tidak bergeming. Kuketuk lagi beberapa kali agak keras, dia tetap sibuk dengan rendaannya. Sekali lagi kugedor pintu kacanya dengan tidak sopan, sampai ruas-ruas jari tangan kananku sakit tapi wanita itu tetap sibuk merenda! Aneh?!
Daripada aku dikira orang jahat atau tidak sopan karena sudah mengetuk pintu rumah orang dengan tidak sopan, maka sekali lagi aku nekat memutuskan untuk mencoba menggerakkan gerendel pintunya, siapa tahu tidak terkunci. Dan benar juga, pintu kacanya tidak terkunci dan suara gerendel pintu yang terbuka mendadak sontak mengagetkan wanita itu.
Dia langsung memandangiku, dan akupun langsung sedikit membungkuk sambil mulutku nekat memberondong dengan perkataan maafku sekaligus penjelasan siapa aku sebenarnya. Waktu itu dia hanya memandangiku saja dari bawah sampai ke atas sambil tersenyum, kemudian mempersilakanku untuk duduk dan sebelumnya meminta tolong juga untuk membantunya memasang alat bantu dengar di telinga kirinya!!!! Oh my goodness...ternyata pendengarnya terganggu...pantas saja tidak mendengar ketukan dan gedoran pintu tadi!
Dari situ kami jadi saling tahu dan kenal lebih lagi, dan aku jadi tahu juga bahwa nama depannya adalah MADGE! Dia berusia 91 tahun, hidup sebatangkara dan tergantung dari uang pensiunnya sebagai petani dulu, serta subsidi dari The City Council bagi orang lanjut usia tentunya. Katanya, sehari-hari dia hanya menyibukkan diri dengan merenda topi-topi dan baju hangat bayi yang akan diberikannya pada gereja kami untuk dikirim bagi anak-anak Afrika yang membutuhkan...
Setelah itu Madge memintaku untuk sering-sering berkunjung ke rumahnya, kecuali hari Rabu dan Jumat; karena pada hari itu jadwal terapi bagi orang-orang lanjut usia di daerah Preston katanya. Jadi kulihat dari depan rumahku setiap hari Rabu dan Jumat pagi jam 8 ada Bus The Council City datang menjemputnya ke Rumah Terapi Kota, kemudian sekitar jam 3 sore baru diantar pulang kembali. Biasanya aku berkunjung sekitar sore hari jam 4, karena sekitar jam 5 aku harus bersiap memasak untuk makan malam kami di rumah.
Kunjungan dan percakapan kami hampir selalu sama topiknya, bahkan kadang-kadang hanya diulang-ulang saja. Kalau aku datang, seperti biasa kalau pas dia tidak sedang melihatku maka aku akan langsung membuka pintu kacanya. Kemudian dia akan menyerahkan alat bantu dengarnya untuk kupakaikan di telinga kirinya, dan pasti akan dimulai dengan sapaannya yang SELALU sama, "Hello Love, are you alright?!"... Is Mark alright?!...Are you cold?!... Baru kemudian berlanjut dengan percakapan seputar topik yang monoton seputar, suami dan kakek-neneknya Mark, makanan favorit, masakan Indonesia, warna kesukaan, Toko fish & chips terenak di Preston, hobi, apa yang akan kumasak untuk makan malam... Kadang-kadang kami bisa tertawa bersama juga, cekikikan, atau saling terharu kalau pas bagian cerita yang sedih seperti perasaan sedihnya seorang diri dan juga tentang keguguranku.
Di sela-sela obrolan kami pasti dia juga akan menawarkan teh hangat atau permen atau biskuit. Tapi sejujurnya kadang-kadang aku frustasi dan geli juga dalam percakapan kami, bagaimana tidak karena kadang-kadang seperti "orang buta menuntun orang buta" saja, apa yang dia jawab atau katakan tidak seperti pertanyaan atau obrolan sebelumnya. Aku tidak tahu apakah karena dia tidak jelas bahasaku atau karena kurang jelas mendengar! Tapi sejauh itu kami menikmati persahabatan baru kami dan aku mengerti, bahwa untuk orang seusia Madge dengan keadaannya, dia butuh sekali diperhatikan dan sekedar didengarkan.
Tetangga kami bahkan sudah terbiasa kalau melihat di sore hari aku menyeberang jalan sambil membawa mangkok kecil, atau kotak makan berisi sesuatu hasil masakanku. Karena kemudian aku jadi punya tester lain untuk ikut mencicipi hasil belajar memasakku, selain Mark! Hal ini membuatku semakin rajin mencoba belajar memasak. Kadang aku membuat kolak pisang dan ubi jalar (sweet potato), atau pisang plenet kutaburi parutan keju, atau lain kali aku memasak mie goreng kuberi irisan sosis, atau sekedar pisang goreng, atau ubi goreng, atau bakwan jagung, atau rolade bayam... Biasanya setelah selesai membuatnya dan masih panas aku antar ke tempat Madge dan selalu bilang padanya bahwa kalau masakan itu tidak enak dan dia tidak suka kuminta untuk dibuang saja, dan seringnya dia langsung memakannya di depanku sambil kemudian berbincang-bincang seputar makanan yang kubawa itu, bagaimana membuatnya, apakah Mark suka, dll.
Tapi kunjungan-kunjungan itu hanya sampai sekitar bulan Januari saja, karena mulai bulan Februari tentu saja setelah memasuki musim semi dan keadaan mulai lebih hangat, aku mulai bekerja paruh waktu. Jadi kemudian lama aku tidak sempat berkunjung. Dan tahu-tahu kami mendengar di gereja ketika Pendeta berdoa untuk orang-orang yang sakit, ada nama Madge disebut sedang sakit dan dirawat di Royal Preston Hospital karena mengidap stroke dan winter virus!
Parahnya lagi untuk winter virus, kami dilarang menengok, kecuali sampai sembuh benar! Dan sebulan setelah itu, kami mendengar bahwa Madge sudah sembuh tapi harus dirawat di Meadow Ville (sejenis Home Carer milik rumah sakit bagi orang-orang jompo yang lemah), karena sambil melatih Madge apakah masih mampu tinggal di rumah seorang diri atau tidak.
Kami hanya mengirim kartu semoga lekas sembuh dan baru sempat menengoknya waktu di Meadow Ville. Tapi bulan kemarin kami mendengar lagi bahwa setelah beberapa kali dicoba di pulangkan kembali di flatnya selama beberapa jam dalam sehari (tentu saja masih mendapat pendampingan), ternyata Madge dinyatakan tidak mampu lagi secara fisik, artinya dia harus tinggal di House Carer milik The City Council di lain daerah(atau Panti Jompo) dan selanjutnya dipelihara oleh negara sampai akhir hayatnya...
Setiap kali aku melihat pintu bekas flatnya dari halaman rumah kami, aku hanya dapat mengenangnya dan mengucapkan doa pendek untuknya..."Terima kasih Madge, engkau bagaikan seorang malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantuku untuk bangkit dan melupakan kesedihan karena keguguranku...". Kalau aku renungkan, waktu pertemuan dan persahabatan kami seolah-olah sudah diatur oleh Tuhan, sebelum akhirnya aku bekerja dan bangkit dari kesedihanku...
"Goodbye my old friend, goodbye my lovely neighbour... 'til we meet again Madge!
I will be missing our times together! Wherever you are, God always be with you and bless you..."
My old friends, Madge & Eileen. They both are 91 years old now
Aku memakai syal wools hijau pemberian dari Madge
Link :