Bapak dan Ibu sanderson di depan rumah burung
"...Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Allah. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?..."
Ayat itu selalu terngiang-ngiang setiap kali aku melihat kawanan burung-burung liar yang sering kali mampir di halaman belakang rumah kami, apalagi kalau aku menyediakan sisa-sisa makanan atau pinggiran roti tawar buat mereka. Ingatan akan ayat itu sembari melihat kawanan burung yang asyik mematuk remah-remah makanan membuat hatiku tentram, damai dan mantab menyambut kepindahan kami ke New Zealand awal Agustus ini.
Aku ingat beberapa bulan yang lalu, ketika pertama kali Mark menyampaikan idenya untuk pindah ke New Zealand membuat aku seperti sambaran petir di siang hari panas... tak terduga dan sangat mengagetkan! Sekaligus juga menyampaikan alasan-alasannya yang masuk akal juga, yang tambah membuat hatiku jadi menciut tak karuan. Walau itu masih wacana kata suamiku, dan dia juga tetap minta pendapatku apakah aku bahagia atau tidak dengan ide itu katanya pula... tapi terus terang ide itu selalu membuat hatiku mudah gelisah di hari-hari berikutnya.
Walaupun suamiku tentu meminta pendapatku juga apakah aku setuju atau tidak, bahagia atau tidak. Tapi aku tahu, bahwa di dalam hatinya dia sangat suka tinggal di New Zealand dan dia memang lebih suka cuaca yang lebih hangat di sana daripada di Inggris. Pengertian tentang hal ini membuat aku semakin tak berdaya, ibarat kata seperti ada di persimpangan jalan, antara memenuhi perasaan egoisku dan mencoba mengerti perasaan suamiku serta ingin membuatnya bahagia...
Memang sebelum bertemu aku, dia sudah 4 tahun tinggal dan bekerja di New Zealand. Dia sangat menyukai pekerjaannya dan alam New Zealand. Dan alasan dia akhirnya balik ke Inggris memang demi aku... demi prosedural pernikahan kami, demi dokumen-dokumen nikah agar lebih mudah. Karna memang Mark bukan warga negara New Zealand, jadi persyaratan pernikahannya membutuhkan dokumen yang tidak praktis dan waktu yang dibutuhkan pun juga tidak singkat. Aku sangat mengerti hal ini, karna memang lain negara lain peraturan, dan yang jelas aturan-aturan itu sudah dibuat dan dikaji jauh sebelumnya. Tapi walaupun begitu, sebenarnya ada satu alasan yang membuat aku tidak mau menjalani harus ke New Zealand dulu pada waktu akan menikah... yaitu aturan yang mengharuskan kami memberikan bukti-bukti bahwa kami tinggal serumah dulu sebelum menikah selama kurang lebih 12 bulan!!! Olala...
Dan Mark tahu pasti bahwa aku tidak akan mau dan tidak akan bisa memenuhinya...
Singkat kata, akhirnya Mark kemudian memutuskan bahwa dia akan kembali ke Inggris saja dan meninggalkan New Zealand berikut pekerjaan yang sangat dicintainya itu... Dari situ aku melihat pengorbanannya cintanya dan kesungguhannya untuk menikahiku tanpa mengecewakan dan mempermalukanku. Dan pengorbanan cintanya ini juga yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan-pertimbanganku dalam memutuskan pendapatku akan rencana kepindahan ini.
Pikiran manusiawiku bergejolak, mungkin karna seolah-olah zona amanku terkoyakkan... Kekuatiran tentang hidup di negara orang, di mana kami berdua atau mungkin salah satu dari kami bukan warga negara, jelas-jelas menghantuiku. Bahkan penjelasan Mark tentang New Zealand yang Negara Persemakmurannya Inggris, yang katanya warga negara Inggris lebih dipermudah dalam mengurus apa pun tetap tidak menenangkan hatiku. Bahkan beberapa minggu aku jadi sering lebih suka diam dan tidak banyak cakap, pun juga jadi sering menangis tersedu-sedu dalam doa-doa pribadiku pada Tuhan tanpa sepengetahuan Mark tentu saja. Karna seperti dia tidak ingin membuatku bersedih, aku pun tidak ingin membuatnya bersedih...
Bahkan tanpa sepengetahuan Mark lagi, aku menyempatkan doa dan puasa siang hari. Aku seolah-olah mau tawar-menawar dengan Tuhan, aku seolah-olah ingin memperalat Tuhan agar meluluskan keinginanku supaya suamiku membatalkan rencana kepindahan kami ke New Zealand... Tapi dalam doa-doaku aku juga minta agar Tuhan melembutkan hati kami, supaya kami benar-benar dimampukan mengerti apakah rencana ini kehendak Tuhan atau bukan... Karna itu aku juga memohon agar Tuhan memberikan tanda-tanda kalau memang akhirnya ini semua kehendakNYA...
Aku ingat bahwa dalam keputus-asaanku dulu aku sempat 3x memohon tanda, dan Tuhan berikan semuanya... Betapa picik dan egoisnya diriku... serta betapa baik dan sabarnya Tuhan itu. Dan kalaupun akhirnya aku setuju 100% dengan rencana suamiku, itu bukan berarti aku kalah ataupun aku mengalah... karna memang seharusnya tidak ada istilah seperti itu dalam rumah tangga, yang ada hanyalah istilah "saling".
Aku memang sudah kerasan di Inggris dan lebih suka tinggal di Inggris, tapi kalau sampai akhirnya aku setuju ikut pindah ke New Zealand, karna aku tahu sebagai suami istri memang harus selalu hidup bersama. Dan aku juga percaya, jika kita berusaha menjadi istri yang baik dan taat pada suami, Tuhan akan memberkati kita dan keluarga kita...
Jadi ya, kegiatan menikmati pemandangan kawanan burung liar mematuk-matuk remah-remah roti di halaman belakang rumah kami adalah kegiatan baru yang mengasyikan dan menentramkan buatku. Seolah-olah pemandangan itu sekaligus tanda dari Tuhan juga yang meyakinkan diriku bahwa aku tidak boleh kuatir akan masa depan kami... karna Bapaku Yang Di Surga yang akan memelihara hidup kami...
Preston - England, on Our Wedding Anniversary...
Sunday, 14th June 2009
Ayat itu selalu terngiang-ngiang setiap kali aku melihat kawanan burung-burung liar yang sering kali mampir di halaman belakang rumah kami, apalagi kalau aku menyediakan sisa-sisa makanan atau pinggiran roti tawar buat mereka. Ingatan akan ayat itu sembari melihat kawanan burung yang asyik mematuk remah-remah makanan membuat hatiku tentram, damai dan mantab menyambut kepindahan kami ke New Zealand awal Agustus ini.
Aku ingat beberapa bulan yang lalu, ketika pertama kali Mark menyampaikan idenya untuk pindah ke New Zealand membuat aku seperti sambaran petir di siang hari panas... tak terduga dan sangat mengagetkan! Sekaligus juga menyampaikan alasan-alasannya yang masuk akal juga, yang tambah membuat hatiku jadi menciut tak karuan. Walau itu masih wacana kata suamiku, dan dia juga tetap minta pendapatku apakah aku bahagia atau tidak dengan ide itu katanya pula... tapi terus terang ide itu selalu membuat hatiku mudah gelisah di hari-hari berikutnya.
Walaupun suamiku tentu meminta pendapatku juga apakah aku setuju atau tidak, bahagia atau tidak. Tapi aku tahu, bahwa di dalam hatinya dia sangat suka tinggal di New Zealand dan dia memang lebih suka cuaca yang lebih hangat di sana daripada di Inggris. Pengertian tentang hal ini membuat aku semakin tak berdaya, ibarat kata seperti ada di persimpangan jalan, antara memenuhi perasaan egoisku dan mencoba mengerti perasaan suamiku serta ingin membuatnya bahagia...
Memang sebelum bertemu aku, dia sudah 4 tahun tinggal dan bekerja di New Zealand. Dia sangat menyukai pekerjaannya dan alam New Zealand. Dan alasan dia akhirnya balik ke Inggris memang demi aku... demi prosedural pernikahan kami, demi dokumen-dokumen nikah agar lebih mudah. Karna memang Mark bukan warga negara New Zealand, jadi persyaratan pernikahannya membutuhkan dokumen yang tidak praktis dan waktu yang dibutuhkan pun juga tidak singkat. Aku sangat mengerti hal ini, karna memang lain negara lain peraturan, dan yang jelas aturan-aturan itu sudah dibuat dan dikaji jauh sebelumnya. Tapi walaupun begitu, sebenarnya ada satu alasan yang membuat aku tidak mau menjalani harus ke New Zealand dulu pada waktu akan menikah... yaitu aturan yang mengharuskan kami memberikan bukti-bukti bahwa kami tinggal serumah dulu sebelum menikah selama kurang lebih 12 bulan!!! Olala...
Dan Mark tahu pasti bahwa aku tidak akan mau dan tidak akan bisa memenuhinya...
Singkat kata, akhirnya Mark kemudian memutuskan bahwa dia akan kembali ke Inggris saja dan meninggalkan New Zealand berikut pekerjaan yang sangat dicintainya itu... Dari situ aku melihat pengorbanannya cintanya dan kesungguhannya untuk menikahiku tanpa mengecewakan dan mempermalukanku. Dan pengorbanan cintanya ini juga yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan-pertimbanganku dalam memutuskan pendapatku akan rencana kepindahan ini.
Pikiran manusiawiku bergejolak, mungkin karna seolah-olah zona amanku terkoyakkan... Kekuatiran tentang hidup di negara orang, di mana kami berdua atau mungkin salah satu dari kami bukan warga negara, jelas-jelas menghantuiku. Bahkan penjelasan Mark tentang New Zealand yang Negara Persemakmurannya Inggris, yang katanya warga negara Inggris lebih dipermudah dalam mengurus apa pun tetap tidak menenangkan hatiku. Bahkan beberapa minggu aku jadi sering lebih suka diam dan tidak banyak cakap, pun juga jadi sering menangis tersedu-sedu dalam doa-doa pribadiku pada Tuhan tanpa sepengetahuan Mark tentu saja. Karna seperti dia tidak ingin membuatku bersedih, aku pun tidak ingin membuatnya bersedih...
Bahkan tanpa sepengetahuan Mark lagi, aku menyempatkan doa dan puasa siang hari. Aku seolah-olah mau tawar-menawar dengan Tuhan, aku seolah-olah ingin memperalat Tuhan agar meluluskan keinginanku supaya suamiku membatalkan rencana kepindahan kami ke New Zealand... Tapi dalam doa-doaku aku juga minta agar Tuhan melembutkan hati kami, supaya kami benar-benar dimampukan mengerti apakah rencana ini kehendak Tuhan atau bukan... Karna itu aku juga memohon agar Tuhan memberikan tanda-tanda kalau memang akhirnya ini semua kehendakNYA...
Aku ingat bahwa dalam keputus-asaanku dulu aku sempat 3x memohon tanda, dan Tuhan berikan semuanya... Betapa picik dan egoisnya diriku... serta betapa baik dan sabarnya Tuhan itu. Dan kalaupun akhirnya aku setuju 100% dengan rencana suamiku, itu bukan berarti aku kalah ataupun aku mengalah... karna memang seharusnya tidak ada istilah seperti itu dalam rumah tangga, yang ada hanyalah istilah "saling".
Aku memang sudah kerasan di Inggris dan lebih suka tinggal di Inggris, tapi kalau sampai akhirnya aku setuju ikut pindah ke New Zealand, karna aku tahu sebagai suami istri memang harus selalu hidup bersama. Dan aku juga percaya, jika kita berusaha menjadi istri yang baik dan taat pada suami, Tuhan akan memberkati kita dan keluarga kita...
Jadi ya, kegiatan menikmati pemandangan kawanan burung liar mematuk-matuk remah-remah roti di halaman belakang rumah kami adalah kegiatan baru yang mengasyikan dan menentramkan buatku. Seolah-olah pemandangan itu sekaligus tanda dari Tuhan juga yang meyakinkan diriku bahwa aku tidak boleh kuatir akan masa depan kami... karna Bapaku Yang Di Surga yang akan memelihara hidup kami...
Preston - England, on Our Wedding Anniversary...
Sunday, 14th June 2009
Link :